ARTICLE AD BOX
Salah satunya ritual Nangkluk Merana untuk meredakan dampak dari mengganasnya serangan hama penyakit pada sasih atau musim pancaroba, perubahan masim dari musim kemarau ke musim penghujan atau sebaliknya.
“Kata nangluk berarti menangkal, sedangkan kata merana berarti penyakit. Sehingga upacara Nangkluk Merana berarti upacara yang bertujuan memohon kehadapan Ida Hyang Widhi Wasa, agar berkenan mengendalikan hama penyakit yang disebabkan perusahan sasih,” terang I Dewa Ketut Soma, tokoh adat yang pegiat sastra Bali dari Klungkung, Sabtu(7/12).
Pelaksanaan Upacara Nangkluk Merana, sesuai dengan desa kala patra. Sesuai dengan tempat pelaksanaannya, upacara Nangluk Merana dikatagorikan jadi tiga. Ketiganya adalah Upacara Nangkluk Merana yang dilaksanakan di desa-desa pesisir pantai. Pusat pelaksanaanya sudah ditentukan atau terpilih. Contohnya di Klungkung, pelaksanaan Upacara Nangkluk Merana biasanya di laksanakan Pura Watuklotok.
Kemudian untuk Upacara Nangluk Merana di desa-desa di Bali daratan, Catus Pata atau perempatan agung, biasanya menjadi tempat atau pusat pelaksanaan oleh krama.
Yang ketiga, Upacara Nangkluk Merana, yang digelar oleh krama di desa-desa di wilayah pegunungan. “Juga pasti ada tempat yang sudah ditentukan sebagai pusat pelaksanannya,” terangnya.
Karena berdasarkan desa kala patra, penyebutan Upacara Nangkluk Merana, maupun tahapan berikut jenis bebantenannya tidak sama, menyesuaikan dengan kondisi setempat. Istilahnya sesuai dengan kearifan lokal. Misalnya, ada yang menyebut dengan Upacara Ngadegang Sasih Kalima-Kanem, Pecaruan Sasih Kalima-Kaenem atau sebutan lainnya. Wujudnya menyesuaikan juga. Misalnya dalam bentuk Tawur atau Caru Agung di perempatan agung atau persimpangan jalan sampai ke mapesegeh atau tawur alit di lebuh atau depan pekarangan rumah dengan sarana sanggah cucuk dan kober. “Unteng atau esensi tujuannya, sama yakni memohon kerahayuan agar serangan hama atau wabah yang menyebabkan penderitaan mereda atau hilang,” lanjutnya.
Kesamaan adalah rentang waktu pelaksanaannya, yakni pada Sasih Kalima hingga Kanem. Mengapa? “Karena secara astrologi Hindu Bali, Sasih Kalima – Kaenem dikenal merupakan sasih ganjih. Atau musim pancaroba yang rawan dengan serangan penyakit,” kata Dewa Soma yang juga Bendesa Adat Satra, Desa Satra, Klungkung.
Mecaru di Lebuh, salah satu bentuk upacara Nangluk Merana pada tingkatan alit atau keluarga. –NATA
Fenomena itu merupakan siklus, berulang mengacu pada peredaran matahari. Apabila matahari condong berada di belahan utara disebut Utarayana, mulai sasih Kasa, Karo, Katiga sampai Kapat. Sebaliknya apabila matahari condong ke selatan atau daksinayana, mulai sasih Kalima, Kanem, Kapitu, Kawulu hingga Kesanga. Sedangkan mulai Sasih Kedasa, Jyesta dan Asada, dimana secara siklus matahari berada di tengah- tengah atau tajeg, disebut dengan Indrayana. “Panglingsir kita di Bali lumrahnya menyebut dengan sasih kedas (bersih).
Nah, pada pada sasih ganjih, terutama Sasih Kalima-Kaenem itulah biasanya muncul banyak wabah penyakit, baik yang menimpa manusia yakni gering, menyerang hewan dan tumbuhan.
Sejatinya setiap siklus sasih itu memiliki dampak bagi manusia dan alam sendiri. Dewa Soma menyebutnya dengan amertha atau menghidupkan dampak buruk berupa wisia atau racun, dari sisi negatif.
Menyikapi hal tersebut para panglingsir Bali, tak hanya berhenti menyikapi pada laku fisik. Tetua memberlakukan alam dengan merawat alam dan lingkungan. “Karang alit atau bhuwana alit harus masemeton (bersaudara) karang agung atau bhuwana agung,” jelasnya.
Atau secara sederhana, sebutnya, ketika terjadi fonemena dishormani atau ketidakseimbangan akibat siklus alam sendiri, manusia harus berupaya melakukan harmonisasi atau keseimbangan.
“Karena itulah mengapa pada sasih Kalima-Kanem di Bali, krama melaksanakan Upakara Nangkluk Merana. Memohon kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa, agar serangan wabah atau hama penyakit mereda. Jadi secara sakala-niskala,” jelas Dewa Soma.7wayan nata