ARTICLE AD BOX
Putusan ini menegaskan bahwa Riana akan menjalani hukuman penjara selama 4 tahun setelah tidak ada banding yang diajukan atas vonis yang dijatuhkan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Denpasar pada Kamis, 3 Oktober 2024 lalu.
Dalam sidang tersebut, Majelis Hakim Gede Putra Astawa memberikan kesempatan kepada pihak terpidana dan Jaksa Penuntut Umum untuk berpikir selama satu minggu terkait keputusan banding. Namun, setelah melewati tenggat waktu tersebut, pihak terpidana memutuskan untuk tidak mengajukan banding. Hal ini dikonfirmasi oleh Kasipenkum Kejati Bali, Putu Agus Eka Sabana Putra, pada Senin (28/10), yang menyatakan bahwa putusan tersebut kini telah dieksekusi dan bersifat inkracht. "Sudah dieksekusi. Sudah inkracht," singkatnya.
Secara terpisah, penasihat hukum, Ketut Riana, Gede Pasek Suardika, juga mengonfirmasi bahwa kliennya tidak akan mengajukan banding, meski tidak merinci alasan di balik keputusan tersebut. "Klien yang tahu. Kami kan hanya sebagai penasihat hukumnya saja. Mengikuti apa yang diputuskan klien," katanya.
Pasek Suardika, yang juga seorang politisi asal Singaraja, memberikan sentilan terhadap putusan ini. Ia menyatakan bahwa keputusan ini menandakan bahwa semua prajuru adat yang berstatus pegawai negeri berpotensi dijerat kasus korupsi. "Ini mahakarya penegak hukum, semua prajuru bisa kena kasus korupsi dari gratifikasi, suap, hingga pemerasan dalam jabatan," ujar Pasek.
Sebelumnya, sidang putusan terhadap I Ketut Riana berlangsung di Pengadilan Tipikor Denpasar, di mana Majelis Hakim memvonis terdakwa bersalah berdasarkan bukti yang disajikan. Dalam putusannya, Riana dijatuhi hukuman penjara 4 tahun dan denda sebesar Rp 200 juta, yang apabila tidak dibayar akan diganti dengan kurungan selama 4 bulan.
Putusan tersebut didasarkan pada ketentuan Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001. Majelis Hakim menilai bahwa semua unsur tindak pidana dalam dakwaan telah terpenuhi, mulai dari status Riana sebagai pegawai negeri, yang menerima insentif dari APBD Badung dan Pemprov Bali, hingga penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi.
Dari hasil pemeriksaan, terungkap bahwa Riana telah meminta uang sebesar Rp 10 miliar kepada saksi Adianto Nahak T Moruk. Permintaan itu disampaikan dalam konteks pengurusan izin dari PT Berawa Bali Utama yang akan membangun di kawasan tersebut, di mana tanda tangan Bendesa Adat Berawa diperlukan.
Permintaan tersebut dilakukan tanpa melibatkan perangkat desa lainnya atau masyarakat, serta dilakukan secara berulang-ulang, yang memenuhi unsur pemaksaan. Dengan demikian, sidang ini menjadi contoh nyata penegakan hukum terhadap praktik korupsi yang melibatkan aparat desa, sekaligus mengingatkan pejabat publik untuk menjalankan tugas mereka secara transparan dan bertanggung jawab. 7 cr79