ARTICLE AD BOX
Salah satu contoh nyata adalah kisah I Gede Wahyu Wiranata, lulusan Politeknik Negeri Bali (PNB) jurusan Teknik Elektro, yang kini menjadi CEO PT Wira Nagari Nusantara. Ia membuktikan bahwa kesuksesan tak hanya datang dari dunia pariwisata, tetapi juga melalui sektor non-pariwisata seperti pertanian berbasis teknologi (smart farming).
Wahyu, petani milenial asal Nusa Dua kelahiran 16 Oktober 1998, mengawali kariernya saat menjalani program PKL pada tahun 2020. Pandemi Covid-19 menjadi titik balik bagi Wahyu ketika sektor pariwisata Bali terpukul keras. “Saya melihat saat pandemi, pariwisata tidak memberikan pemasukan sama sekali. Saya tak mau lagi bergantung pada sektor itu. Pertanian adalah peluang besar,” ungkapnya.
Melalui PT Wira Nagari Nusantara, Wahyu fokus mengembangkan teknologi pertanian, salah satunya inovasi Mikiko Smart Farming, yang memanfaatkan sensor untuk mengatur irigasi secara otomatis. Sistem ini telah diterapkan di berbagai daerah seperti Bali, Kalimantan Selatan, Lombok, dan Sumatera Selatan. “Dengan teknologi ini, petani dapat menghemat waktu dan meningkatkan produktivitas,” jelasnya.
Inovasi Mikiko Smart Farming, yang memanfaatkan sensor untuk mengatur irigasi secara otomatis. –IST
Menurut Wahyu, pertanian memiliki potensi besar karena kebutuhan pangan yang terus meningkat. "Manusia selalu butuh makanan. Dengan teknologi, kita bisa meningkatkan kualitas serta efisiensi produksi," tambahnya. Sebagai lulusan pendidikan vokasi, Wahyu merasa pengalamannya selama kuliah, yang lebih menitikberatkan pada praktik, memberikan bekal penting dalam pekerjaannya.
Ketua Tim Konsorsium Program Ekosistem Kemitraan untuk Pengembangan Inovasi Berbasis Potensi Daerah Provinsi Bali, Dr Ni Nyoman Sri Astuti SST Par MPar, menjelaskan bahwa ketergantungan Bali pada sektor pariwisata membuat perekonomian daerah rentan terhadap guncangan eksternal. Hal ini terlihat saat pandemi Covid-19, di mana ekonomi Bali mengalami kontraksi hingga dua digit.
“Ketergantungan ini memperlihatkan kerentanan ekonomi Bali. Kita perlu mengembangkan sektor non-pariwisata seperti pertanian berbasis teknologi, ekonomi kreatif, hingga energi terbarukan,” ujar Sri Astuti, Minggu (24/11).
Melalui penelitian yang melibatkan berbagai institusi, Tim Konsorsium menyusun roadmap untuk pengembangan pendidikan vokasi Bali. Tujuannya adalah mencetak sumber daya manusia (SDM) yang siap bersaing di era digitalisasi dan otomatisasi. Salah satu fokusnya adalah mengintegrasikan teknologi dalam pendidikan dan mengembangkan program magang berbasis ‘matching’ antara mahasiswa dan industri.
“Revitalisasi pendidikan vokasi diperlukan untuk memastikan lulusan memiliki keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan industri. Dengan kurikulum berbasis kompetensi, mahasiswa dapat langsung terjun ke dunia kerja dengan percaya diri,” jelasnya.
Selain itu, Tim Konsorsium juga mengidentifikasi beberapa sektor unggulan di Bali, seperti pertanian organik, yang mendapat dukungan dari peraturan gubernur terkait prioritas produk lokal. Menurut Sri Astuti, langkah diversifikasi ekonomi ini akan membuka peluang baru bagi lulusan vokasi di luar pariwisata.
Kisah Wahyu menjadi inspirasi bagi generasi muda Bali untuk tidak hanya terpaku pada sektor pariwisata. Ia menekankan bahwa sektor lain, seperti pertanian, menawarkan peluang besar untuk berkembang. “Kita harus bangga menjadi petani. Profesi ini membutuhkan pengetahuan luas, dari teknologi hingga manajemen pasar,” tegas Wahyu.
Dengan tekad, inovasi, dan dukungan dari berbagai pihak, lulusan pendidikan vokasi di Bali kini memiliki peluang yang semakin luas. Bali tidak hanya tentang pariwisata; ke depannya, diversifikasi ekonomi akan menjadi kunci untuk menciptakan masa depan yang lebih stabil dan berkelanjutan. 7 ol3