ARTICLE AD BOX
DENPASAR, NusaBali
Kehidupan agraris yang jadi dasar kebudayaan tradisional Bali kini terancam eksistensinya. Keberadaan Subak satu per satu dilaporkan punah. Spirit ngayah yang menjiwai prajuru desa adat tergerus dengan kasus pemerasan yang belakangan terungkap melibatkan oknum bendesa. Politisasi desa adat pun menjadikan organisasi tradisional itu tidak lagi memiliki otonomi yang jadi ciri khasnya.
Sejumlah fakta itu jadi tantangan besar kebudayaan (tradisional) Bali di abad milenium ini. Pemerintah daerah tidak boleh tinggal diam. Komunitas masyarakat Bali berupaya melindungi kearifan tetua Bali.
Pemerhati sosial Prof I Dewa Gde Palguna mengatakan, penting untuk memulai pelindungan budaya Bali dengan bersikap jujur mengenai relevansi tradisi Bali. Budaya Bali yang merentang ratusan tahun telah menjadi bukti betapa adaptif dan kreatifnya leluhur orang Bali merespons tantangan hidupnya. Kini, relevansi warisan leluhur perlu dimaknai ulang agar upaya pelindungan dan pemajuan kebudayaan Bali jelas ujung pangkalnya.
Menurutnya, jika ada unsur kebudayaan Bali yang nyata-nyata tidak lagi memiliki relevansi dengan kekinian, maka upaya pelindungan tersebut merupakan hal yang sia-sia.
“Kalau nggak ada kontekstual, nggak ada lagi gunanya dibicarakan,” ujar Prof Palguna saat jadi narasumber dalam Kongres Kebudayaan Bali IV Tahun 2024, di Gedung Ksirarnawa Taman Budaya Provinsi Bali, Denpasar, Jumat (6/12).
Akademisi Fakultas Hukum Universitas Udayana menegaskan bahwa konstitusi menjamin pelindungan budaya Indonesia dikarenakan nilai-nilai di baliknya masih sangat relevan di masa kini.
Prof Palguna menjelaskan upaya memelihara relevansi budaya Bali bukan tidak mungkin akan membawa kita harus melepas atribut-atribut budaya yang sudah tidak relevan lagi di masa sekarang. Tidak adanya lagi sapi yang membajak sawah seperti dilakukan petani Bali terdahulu, karena sudah tergantikan teknologi traktor, adalah kenyataan yang harus diakui.
Masih ada segelintir petani Bali membajak sawah pakai tenaga sapi. –NUSA BALI
“Keadaan demikian, sudah pasti akan menghilangkan sejumlah pranata sekaligus mendisfungsikan sarana dan prasana pendukung Subak. Bahkan, bukan hanya itu, puluhan (atau mungkin ratusan) kosa kata yang terkait dengan Subak pun dengan sendirinya akan mati,” ujar mantan hakim Mahkamah Konstitusi.
Di sisi lain, Prof Palguna meyakini kearifan lokal Bali masih sangat relevan dengan tantangan modern. Dia menekankan Subak sebagai hulunya kebudayaan Bali seharusnya mendapat prioritas pelindungan dari Pemerintah.
“Jika subak hilang, masihkah kontekstual menyatakan (terutama di masa yang akan datang) bahwa akar budaya Bali adalah budaya masyarakat agraris petani?” kritik Prof Palguna.
“Atau, fenomena terkini, ketika politisasi desa-desa adat terjadi secara telanjang di depan mata (dan, uniknya, desa adat menerima hal itu tanpa beban), masihkah kita valid mengatakan bahwa lembaga yang bernama desa adat itu merupakan representasi budaya Bali yang disebut-sebut adiluhung?” imbuh akademisi asal Bangli.
Prof Palguna mengingatkan tanpa mengenali kontekstualitas kebudayaan Bali upaya pelindungan hanya membuang-buang waktu. Berpegang pada tradisi yang jelas-jelas tidak lagi relevan akan menghambat manusia Bali merengkuh masa depan.
“Kita sebenarnya mau bergerak ke depan atau ke masa lalu. Ketika kita bicara tentang pranata, lembaga, sarana, dan prasarana dalam kaitan dengan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan kebudayaan Bali, kita tidak boleh berangkat dari sikap hipokrit (pura-pura, Red). Kita wajib bertolak dari kenyataan empirik (nyata),” tandas Prof Palguna.
Ketua Majelis Kebudayaan Bali Prof I Made Bandem mengatakan, kontektualisasi kebudayaan Bali memang menjadi salah satu rekomendasi yang dihasilkan dari pelaksanaan Kongres Kebudayaan Bali IV Tahun 2024. Mengambil tema ‘Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah sebagai Akselerasi Penguatan dan Pemajuan Kebudayaan Bali’, kongres memberikan 14 rekomendasi sebagai upaya pelindungan dan pemajuan kebudayaan Bali.
Prof Bandem –IST
“Perlu kontekstualisasi kebudayaan (Bali) yang berkorelasi langsung dengan pranata, lembaga, sarana, dan prasarana yang berangkat dari sikap jujur dan wajib bertolak dari kenyataan yang sesungguhnya,” ujar maestro tari Bali.
Dijelaskan, Kongres Kebudayaan Bali IV Tahun 2024 merupakan salah satu wujud nyata dalam upaya penguatan dan pemajuan kebudayaan. Kongres ini dirancang untuk menghasilkan Pola Kebijakan Pemajuan Kebudayaan Bali (PKPKB), sebagai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Bidang Kebudayaan 2025-2030.
“Pola Kebijakan Pemajuan Kebudayaan Bali hasil Kongres Kebudayaan Bali IV ini berisikan Pokok Pikiran Objek Penguatan dan Pemajuan Kebudayaan Bali, Potensi, Peluang dan Tantangan, Problematik dan sifat Objek Penguatan dan Pemajuan Kebudayaan Bali, serta Rencana dan Program Kerja (2025-2029) yang melingkupi 19 objek penguatan dan pemajuan Kebudayaan Bali,” jelas Prof Bandem.7adi