ARTICLE AD BOX
Hubungan dengan alam berhenti bagi orang yang telah terbebas, tujuannya telah terpenuhi, namun prosesnya terus mempengaruhi orang lain.
ADA pertanyaan menarik dalam percakapan saat menunggu jenazah terbakar sempurna di setra Pidpid. Untuk apa tubuh ini ada jika pada akhirnya diselesaikan api? Pandanganku serta merta mengarah pada api yang sedang membakar. Memoriku pun tertaut pada sutra patanjali (2.21), alam dan kecerdasan eksis semata-mata untuk melayani tujuan sejati ‘sang saksi’. Tubuh beserta kecerdasannya sebagai serpihan alam eksis hanya untuk melayani sang atman dalam mengenal kesejatian diri-Nya. Sang saksi atau atma adalah kesadaran murni yang tidak tersentuh oleh apapun. Namun, ketika berada di dalam tubuh (prakrti), sifat-sifat sattvam, rajas, dan tamas yang inheren dalam prakrti menutupinya, sehingga tidak lagi mampu mengenali dirinya sebagai kesadaran murni.
Melalui tubuh lah sang saksi itu berjuang untuk mengenali dirinya sebagai purusa (jiva yang murni). Persoalannya tidak sederhana, pikiran (citta) kita secara terus-menerus mengalami fluktuasi (citta vrtti) dan diselubungi oleh kekotoran bhatin (klesa). Ini terjadi oleh karena sifat dasar dari tubuh (prakrti) itu sendiri. Agar pikiran bisa ditenangkan dan kekotoran batin terhapuskan, praktik yang konsisten harus dilakukan. Berbagai rangkaian metode mesti ditempuh. Sistematikanya adalah astangga yoga, delapan bagian dari disiplin yoga yang harus dipraktikkan secara konsisten dan gradual.
Yoga ini dipraktikkan untuk melawan citta vrtti dan klesa pikiran tersebut. Sepanjang pikiran kita berada pada fluktuasinya dan kekotoran batin menyelubungi, identitas diri kita tidak mengarah pada diri sejati, tetapi pada ahamkara, ‘aku’ yang lahir dari prakrti. Identitas falsu inilah yang membuat kita mengalami susah dan senang, baik dan buruk silih berganti. Identitas sebagai prakrti inilah penyebab semua penderitaan. Namun, sesaat identitas falsu tersebut hilang, dan sang saksi kembali mengenali diri sejatinya, segala bentuk pengaruh prakrti tidak lagi berdaya. Seperti seorang pemuda gelandangan yang diberitahu bahwa diri sebenarnya adalah seorang pangeran. Derita kekuatan prakrti yang demikian dahsyat tidak lagi berarti. Sang diri bersinar di dalam dirinya dan tidak lagi bersinggungan dengan prakrti. Ketika sang diri dikenali, asosiasi dengan prakrti tidak lagi terjadi.
Teks di atas mengindikasikan hal tersebut, tugas dari prakrti telah selesai, mengantarkan sang kesadaran menemui kesejatiannya. Sang saksi telah terlepas secara sempurna dari objek-objeknya dan menjadi subjek murni. Kekuatan prakrti tidak lagi menyentuh dan mempengaruhi orang yang telah mencapai samadhi, kesadaran murni. Ia sepenuhnya bebas. Lalu muncul pertanyaan menarik, apakah orang yang bisa mencapai kesadaran murni harus mati terlebih dahulu, sebab tubuh adalah bagian prakrti sehingga pengaruhnya pasti ada. Pertanyaan ini memunculkan dua jawaban yang saling berlawanan.
Pertama menjawab bahwa, sepanjang tubuh itu ada, pengaruh prakrti itu pasti ada, sehingga orang tidak benar-benar terbebas dari sifat itu. Orang boleh dan bisa mencapai keadaan samadhi, tetapi ia akan terbebas secara sempurna setelah kematian tubuhnya.
Jawaban kedua, orang bisa mencapai kebebasan sempurna dari pengaruh prakrti meskipun masih berada dalam tubuh. Sang saksi bisa menyadari kesejatiannya secara sempurna meskipun sedang berada dalam tubuh. Jawaban ini di dukung oleh Maharsi Patanjali sendiri, sebab yang menjadi persoalan di sini adalah identitas. Seperti halnya sandangan ‘gelandangan’ pada anak muda di atas tiba-tiba hilang setelah menyadari kesejatiannya sebagai seorang ‘pangeran’. Fisiknya tetap sama, sementara identitasnya berubah total.
Jadi, sang atma bisa mengenali diri sejatinya tanpa harus menghilangkan tubuhnya. Tentu tubuhnya masih tetap mendapat pengaruh dari sifat-sifat prakrti tersebut. Seperti anak panah yang telah terlepas dari busurnya tetapi belum mengenai sasarannya. Tubuhnya tetap menikmati vasana atau karma yang melekat sampai menemui kematiannya. Orang yang telah mencapai realisasi diri secara sempurna akan tetap merasakan susah dan senangnya kehidupan, tetapi dirinya menyadari bahwa rasa dualitas tersebut bukan bagian dari diri sejatinya. Susah dan senang itu adalah bagian dari tubuh semata. 7