ARTICLE AD BOX
Pengusaha hotel sebelumnya mengeluhkan OTA asing yang tidak memiliki badan usaha di Indonesia. Hal itu membuat pengusaha mendapat beban atas pengenaan pajak.
"Ini semua kita masih dalam proses mengkaji, semua isu-isu yang lagi krusial, lagi dikeluhkan juga di teman-teman industri pariwisata, sementara kita semua dalam proses pengkajian semua. Tentu semua akan kita pelajari, semua akan kita diskusikan, dan sementara sedang didiskusikan," ungkapnya di Kementerian BUMN Jakarta, seperti dilansir detikcom, Kamis (31/10).
Dia mengatakan, pihaknya akan mengkaji berbagai masalah terkait industri pariwisata pekan ini. Dia berjanji akan memberikan informasi perkembangan selanjutnya.
"Itu top urgency kami, dan sedang kita bahas, pasti akan kami update secepatnya. Seminggu ini kita sedang mengkaji semua teman-teman," ujarnya.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Maulana Yusran mengungkapkan persoalan sektor pariwisata. Dia menyebut salah satunya terkait keberadaan OTA asing yang tidak memiliki Badan Usaha Tetap (BUT) di Indonesia, sehingga tidak membayar pajak dan merugikan industri lokal.
"OTA asing ini tidak memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak), jadi industri lokal yang akhirnya harus menanggung pajak sebesar 20%. Ini beban besar," kata dia.
Dia menjelaskan bahwa OTA asing tidak membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 11% seperti yang diwajibkan pada penyedia jasa di Indonesia. Padahal dalam aturan akomodasi perjalanan, komisi yang diterima OTA asing bisa mencapai 18%. Mereka pun tak dikenakan pajak komisi 1,1%.
Hal ini, kata dia akibat OTA asing tidak memiliki BUT, yang akhirnya membuat mereka tidak membayar pajak tersebut dan membebankan kepada hotel. Selain itu, OTA asing juga kerap melanggar perjanjian kontrak dengan hotel.
Belum lagi soal OTA asing yang menggunakan strategi 'bakar uang' dengan memberikan diskon besar untuk menarik pelanggan. Meskipun ini tampak menguntungkan bagi wisatawan, pada kenyataannya skema ini merusak pendapatan hotel dan penyedia jasa wisata lokal.
Aplikator asing tersebut memaksakan harga sangat rendah di aplikasinya, sehingga hotel terpaksa mengikutinya. Menurutnya, dalam jangka panjang strategi ini akan berdampak pada keberlanjutan usaha lokal di sektor pariwisata.
"Apalagi mereka juga menerapkan parity rate yang memaksa hotel tidak bisa menjual dengan harga lebih rendah dari yang mereka tetapkan. Kami tidak punya pilihan karena mereka menguasai pasar digital," tutur dia. 7