Pameran ‘Crisis’ di Jimbaran Hub

1 week ago 3
ARTICLE AD BOX
MANGUPURA, NusaBali
Setelah Jimbafest 2024 pada Minggu (27/10), pameran Crisis dibuka untuk umum di Jimbaran Hub selama satu bulan penuh hingga November 2024 mendatang. Event ini dikuratori oleh Yudha Bantono, yang menyatakan bahwa pameran ini mengangkat isu-isu kritis terkait krisis lingkungan, budaya, dan kemanusiaan yang sedang melanda Bali dan dunia.

Menurut Yudha Bantono, gagasan awal pameran ini lahir dari ide Agung Prianta, pendiri Jimbafest 2024 yang ingin menyuarakan keprihatinannya terhadap pemerosotan nilai-nilai di Bali. Melalui pameran Crisis, tema besar krisis ini akan direfleksikan dalam berbagai karya seni yang tidak hanya mengajak penonton untuk menikmati estetika, tetapi juga untuk merenungkan realitas di balik krisis tersebut.

“Bali tidak dalam keadaan baik-baik saja. Tema krisis yang kita angkat sebenarnya menggambarkan situasi global. Saat kita berbicara tentang krisis di Bali, kita juga menyuarakan kondisi serupa yang sedang terjadi di belahan dunia lainnya,” ujar Yudha ditemui di Jimbafest pada Sabtu (27/10) sore.

Yudha menambahkan bahwa acara ini bukan sekadar selebrasi, tetapi juga sebuah refleksi dan ajakan bagi masyarakat untuk berperan dalam memperbaiki keadaan dunia, khususnya Bali. Pameran tersebut dikatakan menghadirkan sekitar 50-70 karya seni dari seniman dalam dan luar negeri, termasuk berbagai instalasi patung, seni lukis, video art, hingga happening art yang secara simbolis menggambarkan isu krisis lingkungan. 

Seniman dari Indonesia yang terlibat antara lain Made Wianta, Made Bayak, Gilang Propagila, Jango Pramartha, WayanUpadana, dan ArkivVilmansa. Dari luar negeri, seniman Australia seperti Paul Trinidad, Jon Terry, Jeremy Blank, Antony Muia, dan Vladimir Todorovic, serta Stephan Spicher dari Swiss, turut menampilkan karya-karya mereka.

Salah satu daya tarik utama dalam pameran ini adalah happening art berupa pembakaran kursi yang mengandung simbolisme terhadap krisis pemanasan global dan imbauan kepada para pemangku kebijakan pada Sabtu (27/10) sore. Yuda menerangkan jika kursi yang dibakar tersebut melambangkan bahwa para pemimpin perlu lebih terlibat dengan masyarakat, alih-alih hanya menikmati kekuasaan yang mereka miliki.

“Selama pembakaran kursi diiringi musik dari seniman Made Bayak sebagai gitaris dari genre hard music dan direspons oleh seniman lainnya,” tuturnya. 

Dia juga menceritakan jika pementasan itu sempat dilakukan pada dua minggu yang lalu, dimana acara serupa dilakukan di Perth, Australia Barat, dengan membakar piano sebagai simbol yang mirip untuk mengangkat isu pemanasan global. Kali ini, happening art di Bali menyajikan dimensi lokal yang tetap terhubung dengan permasalahan global.

“Melalui karya-karya ini, diharapkan khalayak luas dapat memahami makna di balik tindakan seniman dan merespons situasi global yang tidak selalu tampak, tetapi memiliki dampak signifikan,” harapnya. 7 ol3

Read Entire Article