ARTICLE AD BOX
Salah satunya seperti yang dilakukan pendukung Jengah Optimis Sukseskan Sutjidra–Supriatna (JOSS) 2024, Made Suyasa. Warga asal Desa Tajun, Kecamatan Kubutambahan, Buleleng ini bayar kaul (masesangi) dengan matabuh (prosesi upacara Bhuta Yadnya) di Tugu Singa Ambara Raja yang berlokasi di depan Kantor Bupati Buleleng, di persimpangan Jalan Veteran–Jalan Pahlawan–Jalan Ngurah Rai, Kelurahan Banjar Tegal, Kecamatan/Kabupaten Buleleng, Sabtu (30/11) pagi.
Pensiunan camat Kubutambahan ini datang dari kediamannya, dengan membawa 5 liter tuak asli produksi lokal Desa Tajun. Dia kemudian mengawali dengan persembahyangan dengan banten pejati di palinggih Tugu Singa Ambara Raja. Setelah mengutarakan maksud dan tujuannya kepada penguasa alam semesta, dia pun menjalankan proses matabuh, dengan menyiramkan tuak mengelilingi Tugu Singa Ambara Raja sebanyak 3 kali.
Usai masesangi, mantan Sekretaris Dinas Arsip dan Perpustakaan Daerah Buleleng, ini menjelaskan dia memang bernazar akan melakukan ritual matabuh tuak sebanyak 5 liter, jika Pemilihan Gubernur (Pilgub) Bali dan Pilkada Buleleng 2024 berjalan dengan aman, lancar, dan damai. Kedua kaul itu dijanjikannya ketika Paslon Sutjidra–Supriatna meraih kemenangan atas pilihan masyarakat Buleleng.
Suyasa memilih Tugu Singa Ambara Raja sebagai tempat membayar kaul, karena merupakan titik 0 kilometer Kota Singaraja. Simbolis jagat Buleleng sehingga dia memfokuskan kegiatannya di satu tempat. Menurutnya kaul ini juga ucapan syukurnya atas pelaksanaan pesta demokrasi di Buleleng berjalan sukses dan damai.
“Lalu mengapa matabuh? Matabuh dalam upacara bhuta yadnya bertujuan untuk menetralisir sifat dan aura negatif. Filosofi ini pun sama, saya harapkan dengan matabuh segala unsur negatif selama pelaksanaan Pilgub dan Pilkada Buleleng kembali ke alam bawah,” ucap Suyasa.
Tuak sebagai sarana kaul pun dijelaskannya bukan tanpa alasan. Melainkan juga sarat dengan filosofi yang diyakininya. Hasil sadapan pohon aren ini menurut Suyasa tidak selamanya berdampak negatif (memabukkan). Namun jika dimanfaatkan dengan bijak dan benar, dapat diolah menjadi gula dan juga bisa untuk sarana upacara.
Sifat tuak ini pun diharapkannya dapat dimaknai dengan bijak oleh pemimpin. Menurutnya, setelah memenangkan perhelatan politik dan nanti dilantik menjadi bupati-wakil bupati, agar selalu bijaksana dan berhati-hati dalam mengambil keputusan. Terutama yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat.
“Artinya, jangan sampai pemimpin mabuk kekuasaan. Seorang pemimpin harus memberikan peneduh, rasa aman, dan keajegan jagat bagi masyarakatnya,” harap Suyasa. 7 k23