Teten Minta Rempah Tak Boleh Lagi Diekspor Mentah

3 weeks ago 2
ARTICLE AD BOX
"Harus kita olah, harus kita hilirisasi, supaya kita mendapat nilai tambah ekonomi dari sumber daya kita, termasuk juga di dalamnya bisa menciptakan lapangan kerja," ujarnya dalam siaran persnya, seperti dilansir kompas.com, Minggu (13/10).

Menurut Teten, kalau menjual hanya bahan mentahnya saja, tidak akan bisa menciptakan nilai ekonomi tinggi.

"Kita bicara itu dalam konteks menuju negara maju, yang diprediksi pada 2045 itu memiliki potensi besar bertransformasi dari negara berpendapatan menengah ke tinggi," kata Teten.

Untuk mencapai minimum pendapatan perkapita 13.200 dollar AS sebagai negara maju, Teten menyebut Indonesia harus membangun industri yang berkelanjutan, yang mengolah bahan baku yang ada di Indonesia. Sementara saat ini, Indonesia baru mencapai 5.000 dollar AS per kapita.

Pada era 1980-an, kata Teten, banyak masuk industri manufaktur dari luar, namun menjadi sunset industry karena bahan baku tidak ada di Indonesia.

"Kita tidak akan mengulang pengalaman itu. Kita harus membangun industri berbasis keunggulan domestik. Salah satunya, bahan baku kita punya seperti nikel, bauksit, rumput laut, dan juga rempah," kata Teten.

Khusus rempah, Teten mencontohkan bisa dihilirisasi di industri bumbu, selain juga bisa diolah untuk masuk rantai pasok bagian industri farmasi, makanan-minuman, dan industri kecantikan. 

Bagi Teten, teknologi untuk melakukan itu tidaklah sulit. "Kita harus samakan visi semua pihak untuk merancang bangun desain program mengarah ke hilirisasi rempah," katanya.  

"Kita sudah membangun pabrik-pabrik kecil, lalu mengolah sumber daya yang kita miliki menjadi produ ksetengah jadi atau jadi," ungkap Teten lagi. Dia mencontohkan komoditas nilam yang diolah menjadi minyak atsiri dengan standar industri.

Dia menjelaskan, sekarang minyak nilam dari Aceh sudah bisa langsung dikirim ke Paris untuk bahan baku industri wewangian. Industri parfum dunia, kebutuhan nilamnya 80 persen yang dipasok dari Indonesia.

Selain nilam, juga sudah ada hilirisasi komoditas cabai yang diolah menjadi pasta, sehingga memiliki rantai nilai ekonomi yang lebih panjang. Begitu juga dengan cokelat yang juga sudah ada pabrik pengolahannya.

"Rempah bisa dikembangkan dan diolah menjadi bumbu untuk masuk ke pasar dunia. Makanan Indonesia masih tertinggal bila dibanding Thailand dan Vietnam. Mereka jauh dikenal masyarakat dunia," kata Teten.

Ia mengakui, saat ini industri rempah-rempah Indonesia masih menghadapi berbagai persoalan serius. Di antaranya, ketidakstabilan harga, kurangnya infrastruktur pendukung, permasalahan akses pasar, serta pengelolaan lingkungan yang kurang memperhatikan prinsip keberlanjutan.

"Rantai suplai yang belum terintegrasi dengan baik membuat banyak petani rempah berada dalam situasi ekonomi yang sulit. Sementara produk kita sering kali belum mencapai potensi nilai yang optimal di pasar global," kata Teten.7
Read Entire Article